Sampai
saat ini, saya sudah menikah selama 23 hari. Bukan, saya tidak bermaksud untuk
menghitung mundur ke ‘month-versarry’, menghitung bulan untuk tanggal penting
buat pasangan, yang nge-hits di kalangan anak muda. Entahlah, seiring waktu
berjalan, menghitung tanggal itu terlalu alay dan hari istimewa itu tidak lagi
istimewa karena tiap bulan dirayakan. Iya, saya dulu pernah alay dan sangat
ke-anak-anakan dan pernah merayakannya. Tapi cukuplah, manusia bisa berubah
kan? :)
23
hari usia pernikahan itu, ibarat teh hangat buatan bunda di pagi hari saat
cuaca dingin, enak sekali. Harumnya menusuk ke kalbu. Rasa manisnya istimewa. Setelah
diminum, rasanya lega. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Semuanya terasa
indah. Ini bukan lagi seolah-olah kami memulai lembaran baru dalam catatan
hidup kami, tapi ini benar-benar kisah baru yang akan dicatat lalu akan diceritakan
untuk anak cucu kami kelak.
Menikah
itu, gerbang menuju kebahagiaan, dunia dan akhirat. Bukan selama ini saya tidak
bahagia, tapi menikah itu adalah kebahagiaan baru yang akan dicipta. Seiring terciptanya
sebuah keluarga baru isinya pasangan Adam dan Hawa yang baru mengenal arti
hidup sebenarnya. Kebahagiaan yang bisa dibagi dengan pasangan halal,
kebahagiaan yang bisa dibagi dengan 2 buah keluarga besar yang kini menjadi
satu. Indah sekali. Siapa sangka, saya yang berasal dari sebuah desa di dekat
Gunung Kerinci bertemu jodoh anak desa negeri Laskar Pelangi? Benar sekali,
jodoh itu di tangan Tuhan.
Menikah
itu, membawa perubahan dan tentunya perubahan yang lebih baik. Dengan menikah
saja, saya sudah melakukan perubahan terbaik dalam hidup. Upgrade status dari
berpacaran jadi menikah. Iya, saya bukanlah manusia sempurna yang bisa lepas
dari pacaran. Terserah anda mau komentar apa. Tapi yang jelas, sekarang saya
adalah istri sah dari suami saya. Lalu perubahan apa lagi? Tanpa disadari atau
tidak, kami secara automatis berubah menjadi makhluk yang sadar akan
tanggungjawab. Jika masih lajang, bangun siang pun, takkan ada yang peduli.
Makan tinggal beli di warung ya tidak apa-apa. Mungkin ini yang namanya ‘fresh
start’. Saya jadi lebih senang dan sering memasak dari sebelumnya, beres-beres
rumah, merawat suami dan macam-macam lagi. Suami juga makin meningkatkan ilmu
agamanya, terutama untuk hal rumah tangga. Yang jelas, perubahan karakter
kearah yang lebih baik terjadi setelah kami menikah. Alhamdulillah :)
Menikah
itu, adalah menghadapi kenyataan. Menghadapi realita bahwa kita sedang hidup
dengan seorang anak manusia yang sebelumnya sudah kita kenal luarannya, tapi
setelah menikah kita akan mengenalnya lebih dalam lagi. Bisa jadi sifat yang
tidak pernah ditinjukkan sebelumnya akan muncul dan mungkin sifat itu agak
kurang sreg di hati kita, lalu kita harus belajar menerima dan hidup
bersamanya. Kenyataan lain adalah, hidup menikah itu takkan selamanya indah.
Mungkin ada saatnya digoyang cobaan, ada perselisihan dan salah faham. Momen-momen
seperti itulah kita belajar. Belajar berkompromi, belajar memahami dan yang
paling penting SALING. Saling kasih mengasihi, saling sayang menyayangi, saling
mengingatkan jika ada kekhilafan dan saling pengertian antara satu sama lain.
Pada
akhirnya, menikah itu bukanlah deretan foto indah yang kita upload di media
sosial, cerita manis yang kita ukirkan lewat dunia maya atau bahkan uang
ratusan juta yang kita belanjakan demi hari istimewa. Menikah itu adalah
tentang menghadapi realita kehidupan dan membuka lembaran baru kisah dua insan
demi menuju surga-Nya.
“Aku ga bisa janji kalau pernikahan kita akan selalu bahagia, selalu baik-baik saja. Tapi aku berjanji akan selalu denganmu, menghadapi apapun rintangan dan masalah yang kita hadapi kelak dan berusaha sabar untuk hidup bersamamu”
No comments:
Post a Comment